5.11.08

Penyakit commusio cerebri
A. Konsep Dasar
1. Defenisi
Commusio cerebri salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas (Arif Mansjoer, 2000 : 3).
Commutio cerebri merupakan bentuk trauma kapitis ringan, dimana terjadi pingsan (kurang dari 10 menit), gejala-gejala lain mungkin termasuk pusing, noda-noda di depan mata dan linglung, dan tidak meninggalkan gejala sisa atau tidak menyebabkan kerusakan struktur otak.
2. Etiologi
Penyebab commusio cerebri adalah trauma/ benturan langsung atau tidak langsung pada otak. Sebagian besar karena kecelakaan lalu lintas.
Tipe trauma kepala :
a. Trauma kepala terbuka.
Trauma ini dapat menyebabkan fraktur tulang tengkorak dan laserasi durameter. Kerusakan otak dapat terjadi bila tulang tengkorak menusuk otak, misalnya akibat benda tajam.
b. Trauma kepala tertutup.
Cedera tanpa menyebabkan laserasi tetapi menyebabkan geger ringan yang disertai edema serebral.
Menilai tingkat keparahan cedera kepala
a. Cedera kepala ringan (kelompok resiko rendah)
1) Skor skala koma glasglow 14-15 (sadar penuh atentif dan orientif).
2) Tidak ada hilang kesadaran (misal konkusio).
3) Tidak ada intoksikasi alcohol atau obat terlarang.
4) Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing.
5) Tidak adanya kriteria cedera (sedang-berat).
b. Cedera kepala sedang (kelompok resiko sedang).
1) Skor skala koma glasglow 9-12 (konfusi, latergi atau tupar)
2) Konkusi.
3) Amnesia pasca trauma dan disorientasi ringan (bingung).
4) Muntah.
5) Tanda kemungkinan fraktur kranium.
6) Kejang.
c. Cedera kepala berat (kelompok resiko berat)
1) Skor skala koma glasglow 3-8 (coma)
2) Penurunan derajat kesehatan secara progresif.
3) Tanda neorologi lokal.
4) Cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi kranium.
3. Anatomi Fisiologi
Sistem persyarafan terdiri dari :
a. Susunan saraf sentral terbagi atas medulla spinalis dan otak. Dalam medulla spinalis keluar 31 pasang saraf yang terdiri dari : saraf servikalis 8 pasang, toraka 12 pasang, tumbal 5 pasang, sacral 5 pasang dan koksigeal 1 pasang.

Otak terbagi atas :
1. Otak besar (serebrum)
a) Serebrum (otak besar) merupakan bagian terluas dan terbesar dari otak, berbentuk telur, mengisi penuh bagian depan atas rongga tengkorak, pada serebrum ditemukan beberapa lobus yaitu : lobus frontalis, lobus parietalis, lobus temporalis dan lobus oksipitalis.
b) Fungsi serebrum adalah :
(1) Mengingat pengalaman-pengalaman yang lalu.
(2) Pusat persyarafan yang menangani aktivitas mental, akal, intelegensi, keinginan dan memori.
(3) Pusat menangis, buang air besar dan buang air kecil.
2. Otak kecil (serebelum)
Serebelum (otak kecil) terletak pada bagian bawah dan belakang tengkorak, dipisahkan dengan serebrum oleh fisura transversalis dibelakangi oleh ponsvaroli dan di atas medulla oblongata.
Serebelum merupakan pusat koordinasi dan integritasi, bentuk oval bagian yang mengecil pada sentral disebut vermis dan bagian yang melebar pada laferal disebut hemisfer.
a) Fungsi serebelum adalah :
(1) Arkhio serebelum (vestibula serebelum) untuk keseimbangan dan ransangan pendengaran otak.
(2) Plea serebelum (spino serebelum) sebagai pusat penerima impuls.
(3) Neo serebelum (ponto serebelum) menerima informasi tentang gerakan yang sedang dilakukan dan yang akan dikerjakan dan mengatur gerakan sisi badan.
b. Susunan syaraf perifer, terdiri dari :
1) Susunan syaraf somatik.
Susunan syaraf somatik yang mempunyai peranan spesifik untuk mengatur aktivitas otot sadar atau serat lintang.
2) Susunan syaraf otonom .
Terdiri dari : susunan syaraf simpatis dan susunan syaraf parasimpatis.
Susunan syaraf otonom mempunyai peranan penting mempengaruhi pekerjaan otot tidak sadar (otot polos) seperti jantung, hati, pankreas, jalan pencernaan, kalenjar dan lain-lain. (Drs. Syaifuddin, B.Ac, 1997 : 139-144).
Syaraf kepala ada 12 pasang (susunan syaraf tepi).
Tabel 1. Fungsi syaraf kranial
Syaraf Karnial
Fungsi
II. (Olfaktorius)
III. (Optikus)
IV. (Okulomotorius)
V. (Troklear)
VI. (Trigeminus)
VII. (Abdusen)
VIII. (Fasial)
IX. (Vestibulkokhlearlis)
X. (Glasofaringeal)
XI. (Vagus)
XII. (Asesoris)
XIII. (Hipoglosus)
Bertanggung jawab terhadap penciuman, impuls saraf menjalar ke lobus temporal untuk diinterpretasikan.
Berfungsi dalam penglihatan.
Berfungsi mengangkat kelopak mata atau pembuka kelopak mata.
Untuk gerakan sadar bola mata/ gerakan bola mata atas, bawah dan lateral.
Bertanggungjawab untuk mengunyah.
Untuk memutar mata ke arah luar.
Berperan dalam produksi kalenjar lakrimalis, submandi bularis dan juga memberi informasi untuk rasa manis, asam dan asin 2/3 lidah bagian anterior.
Mempunyai dua fungsi yaitu auditori dan vestibular yang berperan dalam penterjemahan suara.
Berperan dalam menelan dan respon sensoris terhadap rasa pahit pada 1/3 lidah bagian posterior.
Pita suara, diafragma dan juga sebagai saraf perasa.
Menggeleng, mengangkat bahu.
Pergerakan lidah.
3) Batang otak (trunkus serebri) terdiri atas :
a. Diensefalon, bagian batang otak paling atas terdapat di antara serebelum dengan mesensepalon.
Fungsi diensefalon adalah :
(1) Vasokonstruktur, mengecilkan pembuluh darah.
(2) Respirasi membantu proses persyarafan.
(3) Mengontrol kegiatan reflek.
(4) Membantu pekerjaan jantung.
b. Mesensepalon, atap dari mesensepalon terdiri dari 4 bagian yang menonjol ke atas, 2 sebelah atas disebut korpus kuadrigeminus superior dan 2 sebelah bawah disebut korpus kuadrigeminus inferior.
Fungsi dari mesensepalon adalah :
(1) Membantu pergerakan mata dan mengangkat kelopak mata.
(2) Memutar mata dan pusat pergerakan mata.
c. Pons varoli adalah pita melingkar yang luas, yang menghubungkan kedua sisi serebelum, di sini terdapat prematoksoid yang mengatur gerakan pernafasan dan reflek.
Fungsi pons varoli adalah :
(1) Penghubung antara kedua bagian serebelum dan juga antara medulla oblongata dan serebrum.
(2) Pusat syaraf trigeminus.
d. Medulla oblongata, merupakan bagian dari batang otak yang paling basah yang menghubungkan pons varoli dengan medulla spinalis. Bagian bawah medulla oblongata merupakan persambungan medulla spinalis ke atas dan bagian atas medulla oblongata melebar disebut kanalis sentralis di daerah tengah bagian ventral medulla oblongata.
Fungsi oblongata adalah :
(1) Mengontrol pekerjaan jantung.
(2) Mengecilkan pembuluh darah (vasokonstruktur)
(3) Pusat pernafasan (respiratory center)
(4) Mengontrol kegiatan reflek.
4. Patofisiologi
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat terpenuhi. Energi yang dihasilkan di dalam sel-sel saraf hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan glukosa sebagai bahan bakar metabolisme otak, tidak boleh kurang dari 20 mg%, karena akan menimbulkan koma, kebutuhan glukosa sebanyak 25% dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma turun sampai 70% akan terjadi gejala-gejala permulaan disfungsi serebral.
Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan oksigen melalui proses metabolik anaerob, yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah.
a. Faktor Kardiovaskuler
Trauma kepala menyebabkan perubahan fungsi jantung mencakup aktivitas atipikal myocardial, perubahan tekanan vaskuler dan edema paru.
Akibat adanya pendarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana penurunan tekanan vaskuler menyebabkan pembuluh darah arteriol akan berkontraksi.
Aktivitas miokard berubah termasuk peningkatan frekuensi jantung dan menurunnya stroke work dimana pembacaan CVP abnormal, tidak adanya stimulus endogen syaraf simpatis mempengaruhi penurunan kontraktilitas ventrikel. Hal ini menyebabkan penurunan curah jantung dan meningkatkan tekanan atrium kiri, akibatnya tubuh berkompensasi dengan meningkatkan tekanan sistolik. Pengaruh dari adanya peningkatan tekanan atrium kiri adalah terjadinya edema paru.
b. Faktor Respiratori
Adanya edema paru pada trauma kepala dan vasokontriksi paru atau hipertensi paru menyebabkan hiperpnoe dan bronkokonstriksi
Edema otot karena trauma adalah bentuk vasogenik, edema otak terjadi karena penekanan terhadap pembuluh darah dan jaringan sekitarnya. Edema otak ini dapat menyebabkan kematian otak (iskemia) dan tingginya tik yang dapat menyebabkan herniasi dan penekanan batang otak atau medulla oblongata.
Akibat penekanan darah medulla oblongata dapat menyebabkan pernafasan ataksia dimana ditandai dengan irama nafas tidak teratur atau pola nafas tidak efektif.
c. Faktor Respiratori
Trauma kepala yang mempengaruhi sistem gastrointestinal, setelah trauma kepala (3 hari) terdapat respon tubuh dengan merangsang aktivitas hipotalamus dan stimulus vagal. Dan hal ini akan merangsang lambung menjadi hiperasiditas. Hiperasiditas yang tidak ditangani akan menyebabkan pendarahan lambung.
d. Faktor Psikososial
Selain dampak masalah yang mempengaruhi fisik pasien, trauma kepala pada pasien adalah suatu pengalaman yang menakutkan. Gejala sisa yang timbul pascatrauma akan mempengaruhi psikis pasien. Demikian pula pada trauma berat yang menyebabkan penurunan kesadaran dan penurunan fungsi neorologis akan mempengaruhi psikososial pasien dan keluarga. (Elyna. S Laura Siahaan, Skp, 1996 : 54).
5. Klasifikasi
1. Klasifikasi berdasarkan keadaan lokasi kerusakan internal otak akibat benturan :
a. Menggambarkan kebanyakan kerusakan yang relatif dekat dengan daerah benturan disebut juga dengan cedera kup.
b. Menggambarkan kerusakan yang berlawanan dengan arah benturan yang disebut cedera kontra kup (Hudak dan Gallo, 1996 : 225).
2. Cedera kepala dapat diklasifikasikan mekanisme, keparahan dan morfologi cedera :
a. Mekanisme : berdasarkan adanya penetrasi durameter.
1) Trauma tumpul : kecepatan tinggi (tabrakan sepeda motor/mobil)
2) Trauma tembus : luka tembus peluru dan cedera tembus lainnya.
b. Keparahan cedera.
1) Ringan : skala koma glasglow 14-15.
2) Sedang : skala koma glasglow 9-13.
3) Berat : skala koma glasglow 3-8.
c. Morfologi
1) Fraktur tengkorak
Kranium : linear/ stelatum, depresi/ non depresi, terbuka/ tertutup.
Basis : dengan/ tanpa kebocoran cairan serebrospinal dengan/ tanpa kelumpuhan nervus VII (fasial)
2) Fraktur intrakanial
Fokal : epidural, subdural, intraserebral.
Difu : konkusi, ringan, konkusi klasik, cedera aksonal difus.
6. Manifestasi Klinis
Konkusio otak setelah cedera kepala adalah :
Kehilangan fungsi neorologis sementara tanpa penampilan kerusakan struktural.
1. Umumnya terjadi periode ketidaksadaran yang berlangsung selama beberapa detik sampai beberapa menit.
2. Getaran pada otak mungkin sangat ringan sehingga hanya menyebabkan pusing dan mata berkunang-kunang.
3. Jika mengenai lobus frontalis, pasien mungkin menunjukkan perilaku kacau (bizare) irasional.
4. Jika yang terkena lobus temporal, pasien akan menunjukkan amnesia temporer atau disorientasi. (Branner dan Suddarth, 2000 : 66).
7. Dampak Masalah atau Komplikasi
Kemunduran pada kondisi pasien mungkin perluasan karena perluasan hematona intrakranial, edema serebral progresif dan herniasi otak. Edema serebral dan herniasi, edema serebral adalah penyebab paling umum dari peningkatan tekanan intrakranial pada pasien yang mendapat cedera kepala, puncak pembengkakan yang mengikuti cedera kepala terjadi kira-kira 72 jam setelah cedera.
Tekanan intrakranial meningkat karena ketidakmampuan tengkorak utuh untuk membesar meskipun peningkatan volume oleh pembengkakan otak diakibatkan dari trauma. Sebagai akibat dari edema dan peningkatan TIK, tekanan disebarkan pada jaringan otak dan struktur internal otak yang kaku. Bergantung pada tempat pembengkakan, perubahan posisi ke bawah dan lateral otak (herniasi) melalui atau terhadap struktur kaku yang terjadi menimbulkan iskemia, infark, kerusakan otak ireversibel dan kematian.
Defisit neurologik dan psikologi. Pasien cedera kepala dapat mengalami paralisis syaraf fokal seperti anosmia (tidak dapat mencium bau-bauan) atau abnormalitas gerakan mata dan defisit neurologik seperti afasia, defek memori dan kejang postraumatik atau epilepsy. Pasien mengalami sisa penurunan psikologis organik (melawan, emosi labil, atau tidak punya malu, perilaku agresif) dan konsekuensi gangguan, kurangnya wawasan terhadap respon emosi.
Komplikasi lain setelah traumatik berupa cedera kepala meliputi infeksi sistemik (pneumatic, infeksi salurah kemih, septikemia), infeksi bedah neoro (infeksi luka, osteomielitis, meningitis, ventikulitis, abses otak) dan osifikasi heterotrofik (nyeri tulang pada sendi-sendi yang penunjang berat badan). (Brunner. B dan Suddarth, 2002 : 2215-2216).
8. Pemeriksaan Diagnostik
1. C.T. Scan (tanpa / dengan kontras)
Mengidentifikasi adanya sol, hemoragik, menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak.
2. M.R.I. (tanpa / dengan kontras)
Angiografi serebral : menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran jaringan otak akibatnya oedema, pendarahan trauma.
3. EEG : untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang patologis.
Sinar X : mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur), pergeseran struktur dari garis tengah (karena pendarahan edema), adanya fragmen tulang.
4. BAER (Brain Auditory Evoked Respons)
Menentukan fungsi korteks dan batang otak.
5. PET (Positron Emission Tomography)
Menunjukkan perubahan aktivitas metabolisme pada otak.
6. Fungsi lumbal; CSS : dapat menduga adanya kemungkinan pendarahan subaraknoid.
7. GDA (Gas Darah Arteri ) : dapat mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi yang akan dapat meningkatkan TIK.
8. Kimia/ elektrolit darah : mengetahui ketidakseimbangan yang berperan dalam meningkatkan TIK/ perubahan mental.
9. Pemeriksaan toksiologi : mendeteksi obat yang mungkin bertanggung jawab terhadap penurunan kesadaran.
10. Kader antikonsulvan darah : dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat terapi yang cukup efektif untuk mengatasi kejang.
9. Penatalaksanaan
a. Keperawatan
1. Penderita harus istirahat baring di tempat tidur sehingga semua keluhan hilang. Keluhan diobati secara sistematik, misalnya dengan pemberian analgetik. Nadi, tensi, suhu, pernafasan dan kesadaran harus dikontrol minimal setiap setengah jam selama 24 jam pertama. Di sini kita dapat mengetahui, apakah keadaan penderita membaik/ menurun. Bila tensi suatu ketika tensi naik dan nadi turun, waspada terhadap terjadinya pendarahan epidural yang membutuhkan tindakan yang cepat dan tepat.
2. Setelah keluhan-keluhan seperti nyeri, mual atau muntah sudah tidak ada lagi, maka dimulai mobilisasi dengan mengizinkan duduk di tempat tidur. Kalau penderita tidak mengeluh nyeri kepala atau pusing di saat duduk, maka keesokan harinya diperbolehkan berdiri, jalan dan dipulangkan untuk beristirahat kembali di rumah selama beberapa hari.
3. Bila di saat duduk masih terasa pusing atau nyeri kepala, penderita harus berbaring lagi dan mobilisasi dicoba lagi keesokan harinya. Mobilisasi harus dilakukan secepatnya untuk menghindari terjadinya neurosis traumatik.
4. Kalau penderita pulang, maka harus dipesankan untuk datang kontrol seminggu setelah meninggalkan rumah sakit.
5. Setelah keluar dari rumah sakit, segala aktivitas harus disesuaikan dengan kemampuan tubuh. Selama tiga bulan setelah kecelakaan sebaiknya penderita hidup teratur, makan dan tidur tepat pada waktunya, dan jangan terlampau lelah fisik maupun mental.

a. Medis
1. Dexamethason atau kalmethason sebagai pengobat edema serebral, dosis sesuai dengan berat dan ringannya trauma.
2. Therapi hiperventilasi (trauma kepala berat) untuk mengurangi vasodilatasi.
3. Pemberian analgetik.
4. Pengobatan anti edema dengan larutan hipertonis yaitu monitol 20% atau glukosa 40% atau gliserol 10%.
5. Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (penisilin) atau untuk infeksi anaerob diberikan metronidazole.
6. Makanan atau cairan pada trauma ringan bila muntah-muntah tidak dapat diberikan apa-apa, hanya cairan infus dextrose 5%, aminoefusin, aminofel (18 jam pertama dari terjadinya kecelakaan), 2 sampai 3 hari.
7. Pembedahan.
Indeks Artikel
Penyakit commusio cerebri
B. Asuhan Keperawatan
Adapun langkah proses keperawatan dalam memberikan asuhan keperawatan terdiri dari lima tahapan yang dimulai dari : pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan keperawataan, tindakan keperawatan, dan evaluasi.
1. Pengkajian
Pengkajian adalah pendekatan sistematis untuk mengumpulkan data dan menganalisa sehingga dapat diketahui masalah-masalah dan kebutuhan keperawatan seseorang pasien.
Langkah-langkah pengkajian
a. Identitas pasien dan keluarga (penanggungjawab)
Pengumpulan data pasien baik subjektif atau objektif pada gangguan nama, umur, jenis kelamin, agama, suku bangsa, status perkawinan, alamat, golongan darah, penghasilan, hubungan pasien dengan penanggungjawab, dan lain-lain.
b. Riwayat kesehatan
Pada umumnya pasien dengan trauma kepala, datang ke rumah sakit dengan penurunan kesadaran (GCS di bawah 15), bingung, muntah, dispnea/ takipnea, sakit kepala, wajah tidak simetris, lemah, paralise, hemiparalise, luka kepala, akumulasi sputum pada saluran napas, adanya upuor dari hidung, telinga dan adanya kejang.
Penyakit kesehatan keluarga, terutama yang mempunyai penyakit menular. Riwayat kesehatan tersebut dapat dikaji dan pasien atau keluarga sebagai data subjektif.
c. Pemeriksaan fisik
Aspek neurologis yang dikaji adalah tingkat kesadaran, biasanya GCS kurang dari 15, disorientasi orang/ tempat, dan waktu, adanya refleks babinski yang positif, perubahan nilai tanda-tanda vital, adanya gerakan decerebrasi, atau dekortikasi dan kemungkinan didapatkan kaku kuduk dengan brudzinski positif, adanya hemiparese.
Pada pasien sadar, dia tidak dapat membedakan berbagai rangsangan/ stimulus rasa, raba, suhu dan getaran. Terjadi gerakan-gerakan involunter, kejang dan ataksia, karena gangguan koordinasi. Pasien juga dapat mengingat kejadian sebelum dan sesudah trauma. Gangguan keseimbangan dimana pasien sadar, dapat terlihat limbung atau tidak mempertahankan keseimbangan tubuh.
Nervus cranial dapat terganggu bila trauma kepala meluas sampai batang otak karena edema otak atau pendarahan otak. Aspek kardiovaskuler didapat perubahan tekanan darah, nadi. Aspek pernafasan terjadi perubahan pola nafas, baik irama, kedalaman maupun frekuensi.
Peningkatan suhu tubuh dapat terjadi karena adanya infeksi atau rangsangan terhadap hipotalamus sebagai pusat pengaturan suhu tubuh. Aspek eliminasi, akan didapat referensi/ inkontinensia dalam hal buang air besar atau kecil.
Pengkajian lain yang perlu dikumpulkan dalam pemberian asuhan keperawatan adalah : adanya pendarahan atau cairan yang keluar dari mulut, hidung, telinga, dan mata. Adanya hiperekskresi pada rongga mulut, adanya pendarahan terbuka/ hematoma pada bagian tubuh lainnya. Hal ini perlu dikaji dari kepala hingga kaki.
Hal ini diperlukan pula pengkajian psikologis. Dimana ada pasien dengan tingkat kesadarannya menurun, maka untuk data psikologisnya tidak dapat dinilai, sedangkan pada pasien yang tingkat kesadarannya agak normal akan terlihat adanya gangguan emosi, perubahan tingkah laku, emosi yang labil, iratabel, apatis, delirium, dan kebingungan keluarga pasien karena mengalami kecemasan sehubungan dengan penyakitnya.
Data sosial yang diperlukan adalah bagaimana pasien berhubungan dengan orang terdekat dan yang lainnya, kemampuan berkomunikasi dan peranannya dalam keluarga. Serta pandangan pasien terhadap dirinya setelah mengalami trauma dan rasa aman. Adapun data spiritual yang diperlukan adalah ketaatan terhadap agama, semangat dan falsafah hidup pasien serta ketuhanan yang diyakininya. Tentu saja data-data yang dikumpulkan bila tidak ada penurunan kesadaran. Data-data di atas adalah dasar dalam penetapan diagnosa keperawatan.
Pemeriksaan diagnostik
Pemeriksaan diagnostik yang dilakukan dalam menegakkan diagnosa medis adalah :
1) x- ray tengkorak.
2) CT- scan.
3) Angiografi.
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah masalah yang nyata atau masalah kesehatan yang potensial pada individu, keluarga dan kelompok dimana perawat dapat secara sah menangani dalam bentuk tindakan keperawatan yang ditujukan untuk mengatasi atau mengurangi masalah tersebut.
1. Potensial/ aktual tidak efektifnya pola pernafasan berhubungan dengan adanya obstruksi trakeobronkial.
2. Potensial terjadinya peningkatan tekanan intrakranial berhubungan dengan adanya proses desak ruang akibat penumpukan cairan darah dalam otak.
3. Perpusi jaringan berhubungan dengan penghentian aliran darah.
4. Perubahan nutrisi kurang dari yang dibutuhkan tubuh berhubungan dengan melemahnya otot-otot yang digunakan untuk mengunyah dan menelan.
5. Gangguan proses pikir berhubungan dengan perubahan fisiologis.
6. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot.
7. Perubahan persepsi sensoris berhubungan dengan penurunan tingkat kesadaran.
8. Gangguan rasa nyaman : nyeri kepala berhubungan dengan peningkatan tekanan intrakranial.
9. Resiko infeksi berhubungan dengan jaringan trauma atau luka/ masuknya kuman melalui jaringan yang rusak.
10. Gangguan kemampuan proses berpikir dengan baik dan logis berhubungan dengan gangguan fungsi sensoris.
11. Gangguan rasa aman : cemas dari keluarga berhubungan dengan ketidakpastian terhadap pengobatan dan keperawatan serta adanya perubahan situasi dan krisis.
Perencanaan
Perencanaan merupakan langkah ketiga dalam proses keperawatan, perencanaan ini dimulai setelah data dianalisa dari masalah yang terkumpul, juga merupakan keputusan ini awal tentang apa yang akan dilakukan, perencanaan ini akan memberikan arah pada kegiatan keperawatan.
Berikut ini akan diuraikan rencana keperawatan sesuai dengan diagnosa keperawatan yang mungkin terjadi pada pasien commusio serebri adalah :
Diagnosa 1 : Potensial/ aktual tidak efektifnya pola pernafasan berhubungan dengan adanya obstruksi trakeobronkial.
Tujuan : Pola nafas efektif dalam batas normal.
Kriteria hasil : - Pola nafas dalam batas normal dengan frekuensi 14-20 x/i untuk dewasa dan iramanya teratur.
6) Bunyi nafas normal tidak ada ronchi atau wheezing.
7) Tidak ada pernafasan kuping hidung.
8) Pergerakan dada simetris/ tidak ada retraksi.
Rencana tindakan :
a. Kaji kecepatan, kedalaman, frekuensi, irama dan bunyi nafas.
Rasional : Perubahan yang terjadi dan hasil pengkajian berguna dalam menunjukkan adanya komplikasi pulmonal dan luasnya bagian otak yang terkena.
b. Atur posisi pasien dengan posisi semi fawler (15o -45o)
Rasional : Akan mengurangi penekanan isi rongga perut terhadap diaphragma, sehingga ekspansi paru tidak terganggu.
c. Lakukan penghisapan lendir dengan hati-hati selama 10-15 detik. Catat sifat, warna dan bau secret. Lakukan bila tidak ada retak pada tulang basal dan robekan dural.
Rasional : Jalan nafas akan bersih dan akumulasi dari secret bisa dicegah sehingga pernafasan akan tetap lancar dan efektif.
d. Apabila pasien sadar, anjurkan dan ajak latihan nafas dalam.
Rasional : Latihan nafas dalam berguna untuk mencegah terjadinya atelaktasis.
e. Lakukan kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian terapi oksigen, monitor ketepatan terapi oksigen, dan komplikasi yang mungkin timbul.
Rasional : Pemberian oksigen terapi tambahan dapat meningkatkan oksigenisasi otak untuk mencegah hipoksia, monitor pemberian oksigen untuk mencegah terjadinya pemberian oksigen yang berlebihan, iritasi saluran nafas.
f. Lakukan kolaborasi dengan tim medis analisis dalam melaksanakan analisa gas darah.
Rasional : Analisa gas darah dapat menentukan keefektifan respiratori, keseimbangan asam basa dan kebutuhan terapi.
Diagnosa 2 : Potensial terjadinya peningkatan tekanan intrakranial berhubungan dengan adanya proses desak ruang akibat penumpukan cairan darah dalam otak.
Tujuan : Peningkatan tekanan intrakranial tidak terjadi.
Kriteria hasil : Tidak ada tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial seperti tekanan darah meningkat, denyut nadi lambat, pupil melebar, anisokor, cahaya negatif, kesadaran tambah buruk, nilai GCS < 0 =" pasien" 1 =" pasien" 2 =" pasien" 3 =" pasien" 4 =" pasien" v5 =" 15">

Tidak ada komentar: